UPAYA YANG DAPAT DITEMPUH PENGGUGAT
APABILA PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA YANG INKRACHT VAN GEWIJSDE TIDAK
DILAKSANAKAN OLEH GUBERNUR
D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
Kurniawansyah, S.H.
NPM 12.01.0060
PS
PROGRAM
PASCA SARJANA ILMU HUKUM
S T I H P E
R T I B A
2014
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim,Segala puji
dan syukur saya panjatkan kepada Allah Subhanallahu wata’alah atas kuasa
sehingga penyusunan makalah ini dapat berjalan dengan baik dan lancar.Dan
kepada rekan-rekan saya terutama sdr.Fahrozi dan sdr.Mulyanto yang telah membantu saya dalam penyusunan makalah ini
saya ucapkan terima kasih.
Makalah ini saya susun sedemikian rupa dengan
mencari dan menggabungkan sejumlah informasi yang saya dapatkan baik melalaui buku,
media cetak, elektronik maupun media lainnya. Saya berharap dengan informasi
yang saya dapat dan kemudian saya sajikan ini dapat memberikan penjelasan yang
cukup tentang upaya yang dapat ditempuh penggugat apabila putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara yang inkracht van gewijsde
tidak dilaksanakan oleh Gubernur dalam hubungannya dengan konsep negara
hukum.
Demikian satu dua kata yang dapat saya
sampaikan kepada seluruh pembaca makalah ini. Jika ada kesalahan baik dalam
penulisan maupun kutipan, saya terlebih
dahulu memohon maaf dan saya berharap
semua pihak terutama para dosen dapat memakluminya. Semoga semua pihak dapat
menerima dan mengambil esensi dari makalah ini. Wassalam.
Pangkalpinang,
25 Agustus 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................. 1
KATA PENGANTAR ................................................................................................ 2
DAFTAR ISI ............................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 4
B. Perumusan Masalah ................................................................................................. 8
C. Tujuan ..................................................................................................................... 9
D. Manfaat .....................................................................................................................9
BAB II PEMBAHASAN
A. Tindakan Presiden Apabila Kepala
Daerah yang Tidak Merealisasikan Hak Penggugat yang Termuat dalam Amar Putusan
TUN yang Inkracht Van Gewijsde.................................................................. 9
B. Dilihat dari Bentuk Negara.................................................................................... 13
C. Ditinjau dari Perspektif Teori
Kewenangan ..........................................................18
D. Upaya Lanjutan yang Dapat Ditempuh
Tergugat dalam Hal Putusan yang Inkracht
Van Gewijsde, dan Ketentuan Pasal 116 ( 4 ), ( 5 ), dan ( 6 ) Tidak Dilaksanakan Oleh
Kepala Daerah ...................................................................................................21
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ......................................................................................................... ..28
B. Saran ..................................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................30
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Indroharto pernah mengatakan bahwa “...kalau pihak-pihak atau lain-lain
Badan atau Jabatan TUN diberikan wewenang untuk menyingkirkan suatu Putusan
Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka hal itu praktis
akan dapat membahayakan kelangsungan hidup negara hukum kita”.[1] Pernyataan
kekhawatiran Indroharto tersebut sangat jelas menegaskan bahwa betapa urgennya
pelaksanaan suatu Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam konteks kehidupan
bernegara yang berlandaskan padaRechtstaat. Konsekuensi logis dari
maksud urgensitas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam tataran
ideal the rule of law adalah keberadaannya tidak dapat
diganggu gugat lagi. Oleh karena itu pelaksanaannya harus di taati oleh
siapapun juga termasuk pemerintah. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
dimaksud dalam hal ini adalah putusan pengadilan Tata Usaha Negara yang telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Karena hanya putusan
Pengadilan yang inkracht van gewijsde yang dapat dilaksanakan.[2] Terlepas dari keadaan
ideal tersebut di atas, dalam kenyataannya mengenai eksekusi putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara ini, kita akan keliru apabila berpendapat bahwa pengertian
eksekusi diartikan sebagai eksekusi riil, seperti halnya eksekusi putusan
perkara perdata yang dapat dipaksakan melalui bantuan pihak luar (ekstern)
Pemerintah. Dalam putusan perkara TUN tidak mungkin Pemerintah selaku pihak
tergugat dipaksa dengan upaya paksa oleh sebuah badan ekstern dalam proses
eksekusi putusan TUN.
Mengenai kemustahilan ini bukanlah tanpa dasar. F.A.M
Stroink dan J.G. Steenbeek memberikan gambaran pembenaran terkait hal
tersebut dalam pernyataannya, “De overheidsbevoegdheden (rechten en
plichten) zijn verbonden aan het ambt. Indien bij voorbeeld een burgemeester
een bepaalde beschikking afgeeft, wordt rechtens die beschikking afgegeven door
het ambt burgemeester, en niet door de natuurlijke person die op dat moment dat
ambt bekleedt, de ambtsrager” (kewenangan pemerintahan {hak-hak dan
kewajiban} itu melekat pada jabatan.
Jika bupati/walikota memberikan keputusan
tertentu, yang berdasarkan hukum, maka keputusan
itu adalah diberikan oleh jabatan Bupati/Walikota, dan bukan oleh
individu/orang yang pada saat diberi jabatan,
yakni Bupati/Walikota). Sehingga ada benarnya pendapat Indroharto
yang menyatakan, bahwa tidak mungkin terhadap pemerintah itu diterapkan
tindakan upaya paksa (misal : dengan bantuan jurusita) agar secara pribadi
melakukan suatu prestasi yang telah diputuskan dalam suatu putusan pengadilan.[3] Dengan paradigma hukum yang sedemikian,
membuka kemungkinan yang sangat besar bagi timbulnya arogansi dari pejabat
pengemban jabatan dalam melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
telah inkracht van gewijsde, karena memang tidak adanya
kekuatan eksekutorial dalam UU No. 5 Tahun 1986.
Sehingga Prinsip peradilan
TUN untuk menempatkan kontrol yudisial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
baik menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Karena tidak
adanya kekuatan eksekutorial, sehingga pelaksanaan putusan PTUN tergantung
dari kesadaran dan inisiatif dari Pejabat TUN. Setelah Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN diadakan perubahan dan penambahan materi muatan
melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan perubahannya yang terbaru yaitu UU
No. 51 Tahun 2009, khususnya mengenai dianutnyateori kesalahan dalam pasal
116 ayat (4), yang merupakan pengembangan dariYurisprudensi Counsil
d’Etat, yang memberikan garis ketegasan
untuk membedakan antarakesalahan dinas (Faute de serve) dan
kesalahan pribadi (Faute de personelle). Melalui pengembangan
yurisprudensi tersebut, sehingga kualifikasi bagi pejabat
TUN yang tidak patuh dalam melaksanakan putusan
PTUN, dinyatakan tidak sedang melaksanakan peran Negara yang
diberikan wewenang oleh jabatan, akan tetapi cenderung mengarah pada tindakan
yang bersifat pribadi. Dengan demikian pertanggung jawabannya
dibebankan secara pribadi kepada pejabat TUN yang bersangkutan.
Berdasarkan Yurisprudensi Counsil d’Etat itulah pasal 116
ayat (4) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 mendapatkan dasar argumentatifnya
untuk memberikan kewenangan bagi hakim mencantumkan pengenaan “uang
paksa” dalam putusan yang amarnya berisi materi yang sesuai dengan
maksud pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, yakni dalam hal mencabut dan
menerbitkan KTUN atau menerbitkan KTUN yang memberi hak.
Meskipun ketegasan putusan PTUN dengan mencantumkan pengenaan “uang paksa”
dalam upaya mengantisipasi maupun menindak pejabat TUN yang tidak mau
melaksanakan amar putusan PTUN yang inkracht van gewijsde,
akan tetapi pengaturan mengenai tata cara pembayarannya belum diatur, untuk
sementara mengenai tata caranya secara analogi dianjurkan oleh Mahkamah Agung
mengacu pada ketentuan dalam PP No.43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi
Dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara. Di balik Ketegasan
Pasal 116 ayat (4) UU No.51 Tahun 2009 ternyata masih terdapat beberapa
kelemahan, sehingga seolah-olah keberadaan pasal 116 ayat (4) UU No.51 Tahun
2009 hanya sebagai basa-basi para elit politik untuk memenuhi kriteria negara
hukum, karena disamping tidak menentukan tata cara pembayarannya secara pasti,
juga pengenaan uang paksa ini praktis hanya dimungkinkan berlaku pada perkara
yang menyangkut kepegawaian.[4] Sehingga timbul
permasalahan mengenai bagaimanakah bila yang tergugat adalah kepala daerah.
Apakah hubungan pemerintah pusat maupun daerah jabatannya dapat dikategorikan
layaknya lingkungan kepegawaian agar dapat mengenakan sanksi administratif. Meskipun dalam
kenyataannya perkara yang masuk di PTUN sampai saat ini kira-kira 85 % dalam
masalah pertanahan, dan belum ada kasus sengketa TUN, dimana Gubernur sebagai
tergugat tidak melaksanakan putusan PTUN, namun ini tidak memupus kemungkinan
pada suatu saat keadaan ketidak patuhan terhadap putusan PTUN oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara menjadi faktual dikemudian hari.
Untuk mengantisipasi ini, maka perlu dideskripsikan upaya apa yang dapat
dilakukan penggugat untuk merealisasikan muatan hak yang terkandung dalam
putusan PTUN yang tidak dilaksanakan oleh Badan/Pejabat TUN yang inkracht
van gewijsde dan juga ketika surat penetapandwangsom telah
dilayangkan serta pengumuman di media massa juga tidak diindahkan oleh pejabat
yang bersangkutan. Permasalahan itulah yang kurang lebih menjadi kajian dalam
laporan ini, dengan harapan dapat memberikan gambaran untuk mencapai suatu
pemerintahan yang baik yang selama ini masih sebatas utopia dalam kehidupan
bernegara di Republik Indonesia yang tercinta ini.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang masalah, maka dalam makalah ini ada beberapa masalah yang dirumuskan dan dicari
jawaban atau penyelesaiannya secara ilmiah.
Beberapa masalah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Apakah
Presiden dapat menjatuhkan sanksi terhadap Gubernur yang tidak melaksanakan
Putusan PTUN yang inkracht van gewijsde?
2. Upaya
Lanjutan Apa yang Dapat Ditempuh Tergugat Dalam Hal Putusan yang Inkracht
van Gewijsde, dan Pasal 116 (4), (5), dan (6) Tidak Dilaksanakan Oleh
Kepala Daerah?
C. Tujuan
:
Makalah ini bertujuan untuk :
1.
Untuk melatih menyatakan
pikiran secara tertulis.
2.
Sebagai bentuk
penjawab rasa penasaran mengenai kelemahan eksekutorial dari putusan TUN yang
disandarkan pada ketentuan UU no.5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU
No. 51 Tahun 2009.
D. Manfaat
:
Adapun manfaat dari makalah ini adalah memberikan
kontribusi pemecahan atau jalan keluar permasalahan yang ditemui khususnya
dalam masalah putusan PTUN yang tidak dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan
mengetahui upaya apa yang bisa dilakukan oleh penggugat apabila ini menimpa
perkaranya dikemudian hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tindakan Presiden Apabila Kepala Daerah yang Tidak Merealisasikan
Hak Penggugat yang Termuat Dalam Amar Putusan PTUN yang Inkracht
van Gewijsde.
Dalam Hukum Administrasi Negara terdapat dua macam perlindungan hukum (rechtsbescherming),
yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif (sebagaimana
dikemukakan dalam tinjauan pustaka). Pembagian tersebut tidak terlepas dari
maksud yang terkandung dalam Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, yaitu asas
kepastian hukum. Untuk menjaga kepastian hukum itulah pada dasarnya
perlindungan hukum di realisasikan dengan penegakan hukum. Dalam kajian ini akan
terlihat lebih intens penekanannya pada perlindungan hukum yang bersifat
represif, karena konteks perlindungan hukum dalam kajian ini dikaitkan pada
deskripsi perbuatan melanggar hukum penguasa atau Onrechtmatig
Overheidsdaad(selanjutnya ditulis OOD) yang berarti bukan lagi masuk dalam
kompetensi administrative beroep, melainkan masuk dalam
kompetensi Pengadilan. Meskipun belum begitu tegas dapat diputuskan pengadilan
mana yang paling kompeten untuk menangani permasalahan OOD, namun mengenai
masalah OOD untuk kedepannya akan diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan,
yang sekarang masih dalam Rancangan.
Dimana dalam Pasal 45 ayat (3) RUU Administrasi Pemerintahan menentukan,
“Setiap pejabat Administrasi Pemerintahan yang tidak melaksanakan upaya paksa
sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 ayat (6) dan ayat (8) dikenai pidana
kurungan maksimal 3 (tiga) bulan kurungan”. Akan tetapi belum dapat dipastikan
apakah efektif diberlakuakan kepada Gubernur selaku Kepala Daerah Tingkat I,
mengingat bahwa kedudukannya berdasarkan pemilihan umum secara langsung, sama
halnya dengan presiden, berarti apakah dilakukan impeachment terlebih
dahulu sebelum penjatuhan sanksi atau bagaimana, pasal ini masih belum dapat
dijamin kepastian hukumnya.
Terlepas dari permasalahan di atas, untuk sementara ini sambil menunggu RUU
Administrasi Pemerintahan disah-kan, maka hakim tetap berpijak pada UU /5/1986
Jo. UU/9/2004 Jo. UU 51/2009. Perlindungan hukum represif dalam prosesi
peradilan administrasi, pemeriksaan perkara oleh hakim hanyalah bertolak ukur
pada rechtmatigheidkarena hakim tidak berhak menggunakan tolak ukur
pada Doelmatigheid, ketidak berhakkan ini berkaitan dengan
konsekuensi dari pemisahan kekuasaan antara yudikatifdan eksekutif,
sehingga kewenangan hakim PTUN hanya berhenti pada putusan yang memuat
pertimbangan hukum hasil kajian kriteria rechtmatigheid, setelah
putusan dijatuhkan oleh majelis hakim dan putusan tersebut sudah memiliki
kekuatan hukum tetap, maka hakim tidak mungkin mengutus seorang jurusita untuk
memaksa Kepala Daerah mematuhi Putusan PTUN, agar terlaksana eksekusi putusan
secara riil layaknya dalam kasus-kasus perdata.
Meskipun J.B.J.M. Ten Berge pernah mengemukakan bahwa sanksi merupakan inti
dari penegakan hukum administrasi, yang istilah asingnya ‘in cauda venenum’
artinya bahwa dibagian akhir kaidah hukum terdapat sebuah sanksi. Akan tetapi
pada umumnya tidak ada gunanya memasukkan kewajiban-kewajiban dan
larangan-larangan bagi Pejabat TUN dalam peraturan perundang-undangan Tata
Usaha Negara, ketika aturan tingkah laku itu tidak dapat dipaksakan oleh PTUN.[5] Karena dalam PTUN yang
dikenai sanksi bukan individu pejabatnya, akan tetapi jabatannya. Dalam kepustakaan
Hukum, suatu sanksi itu adalah sarana bagi penegakan hukum selain pengawasan,
maka sanksi sering dilekatkan pada suatu norma hukum tertentu. Hanya saja dalam
hal Administrasi Pemerintahan, suatu sanksi administrasi hanya bisa dijatuhkan
oleh pemerintah itu sendiri.
Sehingga permasalahan yang timbul adalah apakah mungkin Presiden
menjatuhkan sanksi administrasi pada Gubernur yang tidak melaksanakan putusan
PTUN sebagai efek jera? Bila mengingat Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (selanjutnya ditulis UU 32/2004, penulis) yang
memberikan otonomi seluas-luasnya untuk memberdayakan wilayah pemerintahan di
daerah, dan bila dibandingkan dengan esensi pasal 116 ayat (6) UU 51/2009,
dimana dalam redaksi pasal tersebut Presiden didudukkan sebagai pemegang
pemerintahan tertinggi namun kewenangan Presiden dalam pasal 116 ayat (6)
tersebut hanya menyangkut pada hal (peristiwa) Pejabat TUN yang tidak
melaksanakan putusan PTUN yang inkracht van gewijsde hanya
disebutkan dengan menggunakan term “memerintahkan”, yang
sama sekali tidak mengandung unsur sanksi.
Penegasan kewenangan Presiden secara Implisit dalam pasal 116 ayat (6)
demi memberi perlindungan hukum (dalam masalah putusan yang tidak
dilaksanakan oleh Kepala Daerah) Penggugat, maka terlihat penegakan hukum lebih
dikembalikan kepada pemerintah sendiri dalam hal ini pemerintah atasan.[6] Secara ketatanegaraan,
kedudukan dalam pemerintahan selalu dalam hubungan yang vertikal dan
horisontal. Untuk menelusuri bagaimana tanggung jawab Presiden (sesuai konteks
kajian ini), atas kedudukan Kepala Daerah, maka kajiannya sebatas dilakukan
melalui dua penelusuran teoritis, yaitu tanggung jawab dilihat dari bentuk
Negara Republik Indonesia, dan Tanggung jawab dilihat dari perpektif teori
Kewenangan
B. Dilihat Dari Bentuk Negara
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa “Negara Indonesia ialah Negara kesatuan, yang berbentuk
republik”. Dari sana maka di ketahui bahwa sistem administrasi pemerintahan
Negara republik Indonesia pada dasarnya bersifat sentralistik sesuai dengan
konsekuensi logis penganutan bentuk Negara kesatuan (eenheidsstaat atau unitary),
dimana kekuasaan tertinggi pemerintahan tetap berada pada kekuasaan pemerintah
pusat.[7] Begitu pula halnya
Shepherd L. Witmen dan John J. Wuest dalam gambarannya menegaskan secara
implisit bahwa implikasi dari Negara kesatuan terhadap sistem kerja
pemerintahan adalah senantiasa akan mengarah kepada sentralisasi, dengan
menyebutnya sebagai “Sistem Pemerintahan Kesatuan” (Unitary Sistems of
Government).
Namun seiring waktu dalam merealisasikan tujuan dari negara Indonesia yang
termuat dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pada
alinea keempat, yang menyebutkan, “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia….. yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan yang
maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permuyawaratan/perwakilan serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Demikian pula dengan memandang suku dan
kebutuhan yang beragam dalam setiap daerah, serta mengingat juga bahwa
Indonesia adalah Negara kepulauan, Sehingga Negara kesatuan yang dianut oleh
Indonesia haruslah memperlancar jalannya pembangunan yang merata, oleh karena
itu negara kesatauan Indonesia haruslah menganut asas desentralisasi.
Melalui desentralisasi, kemerataan pembangunan dapat dilaksanakan secara
merata. Maka lahirlah kedudukan pemerintahan daerah di Indonesia, dimana
terkait hal ini secara konstitusional ditegaskan dalam pasal 18 ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945. Lebih lanjut mengenai Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (amandemen
2000), yang menentukan : “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu di bagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, …”. Dimana
pengaturan tersebut diulang penyebutannya pada pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004, yang menentukan : “Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota …”.
Hubungan koordinasi kewenangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berupa koordinsi, pembinaan, dan
pengawasan dalam bidang administrasi dan kewilayahan dapat dijumpai salah satunya pada Surat Edaran Menpan Nomor B-471/I/1991
tentang pelaksanaan putusan PTUN yang ditujukan kepada para menteri kabinet
pembangunan pembangunan V, jaksa agung, Gubernur Bank Indonesia, Sekretaris
Jenderal Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, para pimpinan lembaga pemerintahan
non-Departemen & para Gubernur kepala daerah. Surat itu mengemukakan : “….Dalam kenyataan
Putusan Pengaadilan Tata Usaha Negara tidak terlaksana sesuai putusan. Hal ini
mengundang berbagai opini di kalangan masyarakat yang menimbulkan kesan bahwa
aparatur Negara sebagai pejabat tata usaha negara tidak mengindahkan dan tidak
melaksanakan putusan pengadilan, bertindak sewenang-wenang sehingga kehadiran
Pengadilan Tata Usaha Negara dirasakan tidak bermanfaat. Keadaan demikian tidak
menguntungkan bagi upaya penegakan hukum dan upaya menciptakan aparatur negara
yang bersih dan berwibawa.
Berhubungan dengan itu kami mohon kiranya saudara-saudara dapat
mengingatkan kepada para Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan masig-masing
untuk membantu kelancaran dan keberhasilan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
melaksanakan tugasnya yang sudah menjadi komitmen nasional. Untuk itu hendaknya
Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat membantu kelancaran proses penyelesasian
perkara gugatan dan melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan dengan
sebaik-baiknya. Selanjutnya apabila pejabat tata usaha negara yang bersangkutan
tidak mengindahkan putusan/penetapan pengadilan, hendaknya atasan atau pejabat
yang bersangkutan melakukan peneguran atau memerintahkan untuk
pelaksanaannya….”
Dalam negara kesatuan Indonesia yang berlandaskan asas desentralisasi, maka
kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah tidaklah terbagi layaknya
Negara serikat. Dalam Negara kesatuan (eenheidsstaat atau unitary)
kedudukan pemerintah pusat adalah pengendali dari pemerintahan daerah. Mengenai
argumentasi ini dapat dirujuk pasal 18 ayat (1) yang bila ditafsirkan
secara a contrario berdasarkan teori kewenangan (dalam hal ini
delegasi), maka didapat bahwa Dalam Negara kesatuan dengan desentralisasi
pemerintahan daerah hanya bagian dari pemerintah pusat berdasarkan pada
pemencaran kekuasaan, bukan pembagian kekuasaan yang seperti maksud bentuk
Negara serikat.[8]
Begitu pula yang digambarkan oleh Astim Ryanto bahwa antara pusat dan daerah
memiliki hubungan vertikal atau hierarkis, sebagai berikut :[9]
Pertalian antara pemerintah pusat
dan pemerintahan daerah ini dapat memberikan perlindungan hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata, karena dengan kekuasaan pemerintah pusat dalam hal
administrasi dan kewilayahan yang merupakan pemegang kewenangan yang sifatnya
atributif dapat memerintahkan kepada kepala daerah yang tidak menjalankan
putusan PTUN yang inkracht van gewijsde agar segera
melaksanakan putusan PTUN.
Mengenai perlindungan hukum dalam hal ini, dapat dikutip pendapat Sjachran
Basah yang menyatakan : “…administrasi negara mempunyai kewenangan dan warga
memiliki hak, sedangkan sebaliknya warga serta administrasi Negara memperoleh
pula kewajiban. Oleh karena itu, pada kewenangan dan hak melekat kewajiban, …”
selanjutnya beliau menegaskan lebih normatif bahwa mengikuti konstruksi
hukum yang sedemikian, maka secara konstitusional titik sentral
kewenangan-kewajiban untuk administrasi Negara dirumuskan dalam pasal 4 ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan bagi warga ditetapkan oleh pasal 27
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan demikian kedudukan antara hak seseorang dan kewenangan pejabat
administrasi mempunyai kekuatan konstitusional yang sama, karena masing-masing
diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945, sehingga apabila hak
seseorang yang dikuatkan dengan putusan Pengadilan menuntut kepada
pejabat administrasi (Gubernur) untuk manjalankan sesuatu kewajiban sesuai
pasal 97 ayat (9) UU 9/2004, maka Pejabat TUN harus melaksanakan tuntutan
tersebut sebagai kewajiban hukum. Sehingga kewajiban presiden dalam Negara hukum materiil (welfarestate)
secara koordinatif adalah melakukan tindakan yang responsif dan menempatkan rakyat
di atas segala-galanya untuk mencapai kesejahteraan. Namun karena kedudukan
presiden dan gubernur dalam neara kesatuan bukanlah hubungan antara
atasan dan bawahan layaknya hubungan kepegawaian, maka presiden tidak dapat
mengenakan sanksi apapun kepada Gubernur.
Dalam keadaan ini Presiden hanya dimungkinkan untuk
memerintahkan atau melakukan pemanggilan kepada gubernur untuk dimintai
keterangan terkait tindakannya yang tidak melaksanakan putusan PTUN yang
telah inkracht van gewijsde, esensi yang sedemikian rupa dianut
dalam ketentuan pasal 116 ayat (6), dimana presiden selaku lembaga eksekutif
negara (secara sempit - presiden adalah pelaksana undang-undang) hanya
berkewajiban untuk “memerintahkan” Pejabat TUN untuk melaksanakan Putusan. Di
lain sisi dalam pengertian lebih luas, presiden dapat pula melakukan tindakan
yang lebih nyata, yaitu dengan melakukan pemanggilan terhadap Gubernur yang
bersandar pada kewenangan diskresi (freies Ermessen).
C. Ditinjau Dari Perspektif Teori Kewenangan
Dari perspektif teori kewenangan (atribusi dan delegasi) maka haruslah pula
menimbulkan implikasi pada pengorganisasian administrasi baik dipusat, di
daerah, maupun antara hubungan pusat dan daerah yang sifatnya hierarkis antara
pemegang kewenangan atributif dan pemegang kewenangan delegatif (meskipun hanya
sebatas pembinaan dan pengawasan). Argumentasi tersebut merujuk pada pendapat
Indroharto yang menyatakan bahwa pada delegasi itu terjadi pelimpahan suatu
wewenang yang telah ada oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang telah
memperoleh wewenang secara atributif kepada badan atau jabatan Tata Usaha
Negara Lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi
wewenang.[10]
Dari pernyataan Indroharto itu, terimplisit sebuah beban tanggung jawab
yang diemban pemilik kewenangan yang sifatnya atribusi atau asli yang diberikan
oleh Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 khususnya dalam hal ini DPR (pemilik
kewenangan legislasi) dan Presiden (pemegang kewenangan regulasi pemerintahan)
untuk melakukan pemantauan pelaksanaan wewenang yang diberkan kepada kepala
daerah. Dengan demikian maka DPR dan Presiden memiliki kewenangan untuk
memantau jalannya pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkannya
baik dalam bentuk legislasi DPR atau undang-undang maupun bentuk regulasi
berupa peraturan pemerintah dari presiden, karena bagaimanapun juga yang
menimbulkan kewenangan bagi delegataris (pejabat yang menerima
wewenang, dalam kajian ini adalah Gubernur) adalah DPR dan Presiden.
Jika terjadi penyimpangan maka badan yang paling pertama berkewajiban
melakukan peneguran kepada Gubernur adalah DPR dan/atau Presiden. Akan tetapi
masih timbul pertanyaan mengenai pasal 116 ayat (6) UU 51/2009 apakah yang
dimaksud dewan perwakilan rakyat itu DPR RI atau DPRD, begitu juga dalam
penjelasannya tidak dijelaskan mengenai hal tersebut. Mengenai pertanggung
jawaban presiden di atas bukanlah seperti halnya pertanggungg jawaban oleh
atasan kepada pegawai-pegawainya, karena dalam Algemene wet
Bestuursrecht (Awb) dinyatakan bahwa “het overdragen door een
bestuursorgaan van zijn bevoegheid tot her nemen van besluiten aan een ander
die deze onder eigen verantwoordelijkheid uitoefent”[11] (pelimpahan wewenang
oleh organ pemerintahan kepada organ lain untuk mengambil keputusan dengan
tanggung jawab sendiri).
Ketentuan Awb ini oleh Ridwan dianggap memiliki maksud bahwa dalam
penyerahan wewenang melalui delegasi, pemberi wewenang telah lepas dari
tanggung jawab hukum atau dari tuntutan pihak ketiga jika dalam penggunaan
wewenang itu menimbulkan kerugian pada pihak lain. Oleh sebab itu dalam masalah
ini, Presiden tidak mungkin melakukan tindakan represif melalui sanksi
administratif kepada Gubernur, karena Presiden tidak dalam hubungan kepegawaian
dengan Gubernur. Begitu pula Philipus M. Hadjon memberikan gambaran
syarat-syarat pelimpahan wewenang secara delegasi, yang menyiratkan secara
tegas batas-batas bagi Presiden untuk melakukan intervensi terhadap Gubernur,
yang tidak memungkinkan Presiden menjatuhkan Sanksi Administratif maupun
pencabutan wewenang yang telah diberikan kepada Gubernur, syarat-syarat itu
sebagai berikut :
1. Delegasi
harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi
menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu. Kecuali setelah ada
pencabutan yang berpegang pada asas contrarius actus
2. Delegasi
harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi
hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan
perundang-undangan.
3. Delegasi
tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak
diperkenankan adanya delegasi.
4. Kewajiban
memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta
penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.
5. Peraturan
kebijaksanaan (beleidsregel), artinya Delegans memberikan instruksi
(petunjuk) tentang pengunaan wewenang tersebut.[12]
Dengan demikian maka pasal 116 ayat (6) UU 51/2009 memang tidak memiliki
arti apapun di mata Gubernur yang memang tidak mau menjalankan Putusan PTUN,
apalagi bila Individu yang memegang jabatan sebagai Gubernur dalam keadaan
akhir masa jabatan, maka Gubernur bisa saja acuh pada Putusan PTUN dan tidak
mau melaksanakannya, dan keacuhan tersebut tidak dapat dihentikan begitu saja
dengan pasal 116 UU PTUN, karena memang tidak begitu memiliki kekuatan
eksekutorial, semua ini dikembalikan kepada kesadaran Gubernur untuk mematuhi
putusan PTUN. [13] Meskipun demikian,
pencantuman pasal 116 ayat (6) tersebut memang perlu, untuk menegaskan tanggung
jawab Presiden selaku pelaksana tertinggi pemerintahan Negara, yang dalam pasal
10 ayat (3) UU 32/2004 menyebutkan dalam huruf d bahwa pemerintah pusat
memegang urusan Yustisi.
Sejauh ini kajian dalam laporan ini, terdapat sebuah tendensi dalam pasal 116
(4), (5), dan (6) tidak mengandung norma hukum, akan tetapi justru mengandung
norma kesusilaan semata, sehingga pasal ini perlu dipertanyakan apakah pantas
disebut sebagai sanksi hukum TUN atau sebaliknya hanya sebuah norma basa-basi
TUN.
D. Upaya Lanjutan yang Dapat Ditempuh Tergugat Dalam Hal Putusan yang Inkracht
van Gewijsde, dan Ketentuan Pasal 116 (4), (5), dan (6) Tidak
Dilaksanakan Oleh Kepala Daerah.
Secara formal, yaitu merujuk pada Undang-undang No. 51 Tahun 2009 tentang
perubahan kedua UU PTUN (selanjutnya hanya ditulis UU/51/2009), bagi tergugat
yang dalam hal ini adalah Gubernur tidak mau melaksanakan putusan pengadilan
tata usaha Negara yang inkracht van gewijsde, khususnya mengenai
putusan yang amarnya menyangkut pasal 97 ayat (9) huruf b dan c UU/5/1986,
yaitu yang memerintahkan kepada badan atau pajabat tata usaha negara untuk
mencabut KTUN yang disengketakan dan menerbitkan KTUN baru atau
menerbitkan KTUN yang memberi hak pada pengguat, maka ketentuan yang dapat
digunakan sebagai landasan bagi penggugat untuk memohon kepada ketua pengadilan
adalah pasal 116 ayat (4), (5), dan (6) UU/51/2009.
Kriteria untuk memberlakukan pasal 116 ayat (4), (5), dan (6) UU/51/2009
adalah harus terlebih dahulu memenuhi maksud dari ketentuan pasal 116 ayat
(3)-nya, yang menetapkan jangka waktu kapan suatu putusan PTUN itu dianggap
tidak dilaksanakan. Dalam ayat (3) UU/51/2009 tersebut ditentukan
tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah putusan PTUN tersebut
dinyatakan telah memiliki kekuatan hukum mengikat (kracht van gewijsde)
namun putusan belum dilaksanakan, maka badan atau pejabat tata usaha Negara
sudah dapat dinyatakan memenuhi maksud dari ketentuan pasal 116 ayat (3)
UU/51/2009.
Berdasarkan keadaan tersebut, pihak penggugat sudah dapat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara/ Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara yang mengadilinya dalam tingkat pertama agar memerintahkan kepada
tergugat untuk melaksanakan kewajiban untuk menerbitkan Keputusan
Tata Usaha yang dimaksud dalam amar putusan. Menurut Paulus Effendi Lotulung,[14] perintah dari Ketua
Pengadilan tersebut berupa surat perintah yang dituangkan dalam bentuk
penetapan.
Jika Ketua Pengadilan telah memerintahkan kepada tergugat dan tergugat
tetap tidak mau melaksanakan kewajibannya untuk menerbitkan keputusan Tata
Usaha Negara, maka terhadap yang bersangkutan dapat dikenakan upaya paksa
berupa pembayaran upaya paksa dan/atau sanksi administratif.
Namun dalam
permasalahan lebih lanjut mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha
ini mendapat batu ganjalan lagi apabila uang paksa dan sanksi administratif
juga tidak mau diindahkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara.
Mengenai permasalahan ini menurut Yohanes Usfunan akan mengakibatkan suatu
putusan pengadilan tata usaha Negara itu mengambang (floating execution)”.[15] Maka dalam perkembangan yurisprudensi, tindankan pemerintah sepertu
keadaan ini dapat disebut sebagai tindakan melawan hukum penguasa atau onrechtmatige
overheidsdaad (disingkat OOD). Pada awalnya tidak ada
peraturan yang mengatur mengenai permasalahan ini, dan masih dalam perdebatan
mengenai kepada siapa pembebanan uang paksa atau ganti rugi akan dibebankan
jika dilakukan gugatan tentang OOD. Apakah jabatannya atau individu pejabat.
Setelah ditelusuri, ternyata Putusan MA No.66K/SIP/1952 dalam perkara
KASUM, telah berusaha memformulasikan mengenai perbuatan melanggar hukum
penguasa, yang dalam putusannya menyatakan bahwa suatu tindakan yang bisa
disebut OOD apabila ada perbuatan sewenang-wenang (willkeur)
dari pemerintah atau merupakan tindakan yang tiada anasir kepentingan umum.
Namun pertimbangan ini masih sifatnya bias dan terlalu luas, karena menurut MA,
apabila adanya unsur kepentingan umum dalam tindakan pemerintah maka dinyatakan
bukan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa.
Baru pada tahun 1972, yaitu pada Putusan MA No.838/SIP/1972 dalam perkara
Josopandjoyo, ditegaskan lebih jelas tentang criteria rechtmatighed seperti
yang ditegaskan pada tinjauan pustaka dalam laporan ini, yang secara sifatnya
adalah merupakan lawan dari onrechtmatigheid overheidsdaad, sehingga
dalam poin tersebut dapat disimpulkan bahwa kriteria OOD adalah :
1. Perbuatan
melanggar hukum oleh penguasa harus di ukur dengan undang-undang dan peraturan
formil yang berlaku.
2. Harus
diukur kepatutan dalam masyarakat dan karenanya harus dipatuhi oleh penguasa.
3. Penilaian
tentang faktor sosial (dari penyewa dan pemilik) adalah wewenang kepala daerah
sebagai penguasa yang bukan termasuk kompetensi pengadilan untuk menilainya,
kecuali kalau wewenang itu dilakukan dengan malanggar undang-undang dan
peraturan formal atau melampaui batas kepatutan dalam masyarakat yan harus
diperhatikan oleh penguasa.
Dengan adanya putusan
MA No.838/SIP/1972 dalam perkara Josopandjoyo tersebut akhirnya MA mengeluarkan
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 25 februari 1977
Nomor MA/Pemb/0159/77 yang menyerukan kepada ketua Pengadilan Negeri dan Ketua
Pengadilan Tinggi Negeri se-Indonesia yang isinya antara lain :
Dalam mengadili
perkara di mana pemerintah digugat karena melakukan perbuatan melanggar hukum
hendaknya megadakan keseimbangan antara perlindungan terhadap seseorang
(individu) dan terhadap kepentingan persekutuan penguasa.
Dengan demikian perlindungan hukum jelas disini, dimana kedudukan seseorang
dalam persengketaan KTUN yang dalam hal ini melawan Badan/Pejabat Tata Usaha
Negara adalah sama dimata Pengadilan Tata Usaha Negara, hal ini akhirnya
diadopsi dalam UU PTUN yang memasukkan asas hakim aktif dalam proses
beracaranya, Namun kendala asas hakim aktif tersebut hanya berlaku dalam proses
beracara, tidak dalam hal eksekusi putusan pengadilan. Sehingga setiap tindakan
yang harus dilakukan oleh penggugat adalah tindakan yang atas dasar
pelaporan kepada ketua pengadilan dalam upaya klaim hak sesuai amar putusan,
sedangkan biaya yang dikeluarkan dalam upaya ini ditanggung oleh penggugat
sendiri terkecuali bagi acara yang ditetapkan oleh Ketua PTUN sebagai perkara prodeo.
Selama ini pelanggaran
yang dilakukan oleh Pejabat TUN adalah mengenai biaya pembayaran perkara saja,
yakni apabila tergugat dalam hal ini Pejabat TUN diputus kalah oleh ketua
majelis hakim (pasal 110 UU 5/1986), seharusnya pihak tergugat yang membayar
uang perkara dan keseluruhan biaya yang ada atau tersisa, akan tetapi
sebaliknya yang membayar pada kenyataannya adalah pengugat sendiri. Sedangkan
untuk pelanggaran putusan dengan tidak melaksanakannya selama ini belum ada,
karena sebagian besar perkaran yang masuk adalah 85%-nya terkait hal ihwal
pertanahan.[36] Dengan
demikian telah terjadi budaya hukum yang membuat asas kepastian hukum itu
berjalan, dan hanya asas yang tidak berarti khususnya terkait pasal 110 UU
5/1986.
Namun menurut Pulung Hudo Prakoso[16],
dalam konteks nasional pelanggaran putusan TUN sangat marak terutama di
wilayah-wilayah yang masih terbelakang, baik dalam hal ekonomi maupun pemahaman
hukum, hal ini karena kekuatan eksekutorial putusan TUN hanyalah sebatas
memutus dan menjalankan peraturan perundang-undangan dan mencarikan keadilan
bagi justiciabelen dan pemerintah sebagai jalan keluar
persengketaan terkait KTUN yang dikeluarkan pemerintah, sehingga pelaksanaan
putusan pada dasarnya dikembalikan kepada kesadaran Pejabat / Tata Usaha itu sendiri
dan keaktifan pejabat atasannya dalam penegakan hukum putusan pengadilan.
Dari pernyataan tersebut, agar penggugat mendapatkan pelaksanaan putusan
yang dilanggar oleh Pejabat TUN dan dalam hal untuk mendapatkan ganti rugi
dan/atau kompensasi atas dilanggarnya putusan PTUN tersebut maka tindakan
Pejabat TUN yang melanggar putusan TUN tersebut bisa dikaitkan pada pasal 1365
KUHPerdata.
Untuk menghadapi perbuatan melanggar hukum penguasa dalam hal ini Kepala
Daerah (Gubernur), maka jalan yang paling mungkin untuk ditempuh dalam
menguatkan putusan PTUN tersebut adalah dengan mengajukan gugatan perdata ke
Pengadilan Negeri. Hal ini dapat dilakukan sesuai dengan perluasan makna pasal
1365 KUHPerdata, yang dikembangkan melalui yurisprudensi Counsil de’etat
Perancis yang memberikan garis ketegasan
untuk membedakan antara kesalahan dinas (Faute de serve)
dan kesalahan pribadi (Faute de personelle).
Melalui pengembangan yurisprudensi Counsil d’Etat tersebut,
sehingga kualifikasi bagi pejabat TUN yang tidak
patuh dalam melaksanakan putusan PTUN, dinyatakan tidak
sedang melaksanakan peran Negara yang diberikan wewenang oleh jabatan,
akan tetapi cenderung mengarah pada tindakan yang bersifat pribadi. Dengan
demikian pertanggung jawabannya dibebankan secara pribadi kepada pejabat
TUN yang bersangkutan.
Dengan pembebanan kepada individu pejabat TUN tersebut sehingga
konskuensinya adalah Pejabat TUN tidak lagi bisa menggunakan alasan bahwa
perbuatannya adalahrechtmatigheid sesuai pemberlakuan
yurisprudensi Counsil d’Etat di Indonesia, terkecuali bagi
tindakan pemerintah yang tidak menjalankan putusan pengadilan didasarkan pada
alasan yang membenarkan keadaan pejabat TUN tersebut (dispensasi),
misalnya dalam suatu Putusan TUN yang amarnya menentukan untuk mencabut Surat
Keputusan yang membuat kedudukan si A dalam hal kepegawaian yang
pada awalnya sebagai kepala bagian, lalu berdasarkan SK yang dikeluarkan
tergugat mengakibatkan turun jabatan menjadi staf administrasi, dan pada waktu
bersamaan telah diangkat si C sebagai pengganti si A, maka apabila tergugat
melaksanakan putusan PTUN maka ini akan tidak adil bagi si C, dan hal itu dapat
dijadikan alasan bagi pejabat TUN untuk tidak melaksanakan Putusan, dengan catatan
pejabat TUN melaporkannya kepada Ketua Pengadilan Negeri, dan penggugat dapat
menuntut biaya kompensasi.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Melalui penjabaran yang telah dilakukan dalam bab
pembahasan maka terdapat kesimpulan sebagai berikut :
1. Bahwa
presiden memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi, pembinaan dan
pengawasan, berdasarkan apa yang diatur dalam Undang-undang Otonomi Daerah
dalam hal pemerintah daerah tidak mau melaksanakan putusan pengadilan tata
usaha Negara, dan presiden memiliki kewajiban untuk melakukan peneguran kepala
daerah untuk memberikan perlindungan hukum kepada penggugat yang adalah orang
atau badan hukum perdata yang kedudukannya lebih lemah bila dibandingkan kepala
daerah. Namun Presiden tetap tidak dapat memberikan tindakan represif berupa
sanksi kepada Gubernur, sehingga tidak memberikan efek jera kepada Gubernur.
2. Dalam
hal eksekusi putusan PTUN, apabila tidak dilaksanakan oleh pejabat TUN, maka
dapat mengenakan pasal 116 ayat (4), (5), (6), setelah memenuhi jangka waktu
yang ditentukan oleh pasal 116 ayat (3), apabila masih tidak dilaksanakan oleh
pejabat TUN dalam hal ini kepala daerah, maka dapat mengajukannya ke peradilan
umum, dengan dasar hukum pasal 1365 KUHPerdata, dengan gugatan ganti rugi.
B. Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan dari hasil uraian permasalahan dalam
laporan ini adalah :
1. Pertama,
Untuk penggugat dalam berperkara di pengadilan Tata Usaha Negara, agar dalam
petitum Gugatannya mencantumkan permintaan upaya paksa untuk mengantisipasi
putusan tidak dilaksanakan oleh tergugat.
2. Saran
kedua, agar pembentuk peraturan perundang-undangan segera menyempurnakan
pasal-pasal UU PTUN khususnya terkait masalah eksekusi putusan, dan memasukkan
permasalahan OOD secara tegas sebagai hukum positif, sehingga kemudian hari
apabila ada pejabat TUN (Gubernur) yang tidak menjalankan putusan PTUN agar
bisa dilakukan penggugatan atau bahkan penuntutan berdasarkan hukum pidana
untuk mendapatkan saksi secara individu bukan sebagai pemegang kewenangan atas
jabatan, dengan demikian sifat eksekusi akan lebih bersifat memaksa, dan dapat
menimbulkan efek jera.
3. Saran
Ketiga, agar Eksekutif dalam hal ini Gubernur tidak diberikan wewenang untuk
mengeluarkan Keputusan yang sifatnya Konkrit Individual dan Final terkecuali
mengenai keadaan darurat tertentu, agar mengurangi pengaruh politis pada sebuah
keputusan.
Daftar Pustaka
Buku – Buku
Asminah, Dewi, Pedoman
Penghitungan Tenggang Waktu suatu Keputusan yang Berkekuatan Hukum Tetap
dikaitkan dengan eksekusi, Makalah pada Pelatihan Teknis
Fungsional Peningkatan Profesionalisme bagi hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
dan Hakim Peradilan Militer se-Indonesia, tt, hlm.2.
Hadjon, Philipus. M, 2008, Pengantar
Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to Indonesian Administrative Law),
Cetakan Kesepuluh,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Indroharto, 1993, Usaha Memahami
Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.
Logemann, J.H.A., 1954, Over de
Theorie van een Stellig Staatrecht, Penerbit : Saksama, Jakarta
Mahkamah Agung RI, Pedoman
Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II,
Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2009.
Ridwan, H. R, 2008, Hukum
Administrasi Negara, Edisi 4, Rajawali Press, Jakarta.
Riyanto, Astim, 2006, Negara
Kesatuan (Konsepsi, Asas, dan Aktualisasinya), Cetakan I, Yapemdo, Bandung.
Soetami, A. Siti, 2007, Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan Kelima, Refika Aditama, Bandung.
Stroink, F.A.M dan J.G. Steenbeek,
1985, Inleiding in het Staats-en Administratief Recht, Alphen aan
den Rijn: Samsom H.D. Tjeenk Willink.
Subawa, I Made, dkk, 2005, Hukum
Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Penerbit : Wawasan, Denpasar.
Wiyono, R, 2008, Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.
Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.
Undang-Undang
No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang
No. 9 Tahun 2004 Tentang perubahan pertama Undang-Undang No. 5 Tahun
1986 Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang
No. 51 Tahun 2009 Tentang perubahan pertama Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Peradilan
Tata Usaha Negara.
[1] Indroharto
dalam Dewi Asminah, tt,SH, Pedoman Penghitungan Tenggang Waktu suatu Keputusan
yang Berkekuatan Hukum Tetap dikaitkan dengan eksekusi, Makalah
pada Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisme bagi hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara dan Hakim Peradilan Militer se-Indonesia, hlm.2.
[3] Indroharto,
1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm 243-244
[4] Untuk lebih
rinci lihat dalam, Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan
Tata Usaha Negara, dikeluarkan oleh Mahkamah Agung RI berdasarkan Keputusan
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/032/SK/IV/2006 tentang
Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan,
Edisi 2009, hlm. 68-70.
[5] Bandingkan
dengan apa yang ditegaskan oleh Philipus M. Hadjon dalam, B. Arief Sidharta,
dkk, 1996, Butir-Butir Gagasan Tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan
yang Layak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 337
[6] keberadaan
pasal 116 ayat (4), (5), dan (6) UU 51/2009 cenderung bersifat norma
kesusilaan, karena tidak ditemukan unsur norma hukum didalamnya, kecuali dari
segi bentuk formal pembentukan UU 51 tahun 2009 saja, yang dibentuk oleh
legislatif
[7] Riyanto, Astim, 2006, Negara
Kesatuan Konsep, Asas, dan Aktualisasinya, YAPEMDO, Bandung, hlm.139
[10] Indroharto,
1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 91
[12] Philipus M
Hadjon Dalam Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 107-108
[13] Hasil
wawancara pada hari selasa, tanggal 29 Desember 2009, di ruangan Bagian Umum
dengan Pulung Hudo Prakoso, Hakim di PTUN Denpasar
[14] Lihat
Paulus. E Lotulung, dalam R. Wiyono, 2008, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 235
[15] Johanes
Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah yang dapat Digugat, Penerbit : Djambatan,
Jakarta, hlm. 84
[16] Hasil
wawancara pada hari selasa, tanggal 29 Desember 2009, di ruangan Bagian Umum dengan Pulung
Hudo Prakoso, Seorang Calon Hakim di PTUN Denpasar